Ada rakit bambu di sana, tetapi pemiliknya, seorang pria sudah gaek, tak setiap saat melayani penyeberang. Umumnya warga memilih memanggul hasil buminya dengan berjalan di sungai. Rakit seolah-olah hanya untuk menyeberangkan sepeda motor.
Hanya itu pintasan dari Kotabaru ke Dusun Trangging, Pekon Tanjung Raya, Kecamatan Pesisir Barat. Setelah melewati sungai, warga harus mendaki jalan setapak menuju dusun. Dulu, jalan itu dibuat KCMU, tetapi sekarang kembali menjadi semak belukar.
Karena tidak pernah diperhatikan Pemerintah, warga rutin memperbaiki jalan pintas itu. Mereka bergotong royong membersihkan jalan, meski ala kadarnya. Jika musim hujan tiba, warga juga membuat selokan, sampai ke ujung sungai.
Meskipun sudah bersih, tentu saja jalan itu masih tanah. Di Era KCMU pun belum pernah dilapis batu atau sabes. Jalan hanya bisa dilewati saat kering dan itu pun dengan sepeda motor berban track.
Timbul pertanyaan soal bagaimana mengatasi licinnya tanjakan. Mengharap Presiden, Gubernur, atau Bupati Pesisir Barat mengirim sabes? Warga tidak ingin bermimpi. Agar sepeda motor bisa melewatinya, mereka mencari kayu tidak terpakai di sana: dibelah, lalu disusun, seperti membuat rel.
Dusun Trangging betul-betul terisolasi. Disah, anak sekolah yang melewati jalan pintas dan sungai itu setiap hari, ingin sekali bertemu dengan Bupati Pesisir Barat untuk meminta pembangunan jembatan gantung di sana.
“Tetapi ingin bertemu dalam mimpi saja susah,” kata anak itu.
ROBERT ARIESTA
Posting Komentar