Ketika rombongan Kepala Kampung Sinar Seputih, Kabupaten Lampung Tengah, singgah di sana, pemiliknya pun sedang tidak ada. Ia lebih senang di rumah-rumah tetangga di belakang untuk membantu apa saja, agar saat pulang ia bisa membawa sesuatu untuk dimakan.
Lagi pula lahan itu bukan miliknya. Pada tahun 1980 orang tuanya membawanya ke tempat itu. Setelah bapak dan ibunya meninggal, tak ada lagi yang memperhatikan rumah itu.
Ia buta sejak berusia 16 bulan. Ia tidak tahu kursi di depan rumahnya bolong. Tidak tahu juga atapnya bocor. Tidak tahu dinding rumahnya menganga. Yang ia tahu, ketika malam tiba, ia merasa kedinginan. Kalau ia ceritakan hal itu ke tetangga, mereka menertawakannya. Yang membuat ia bingung adalah saat hujan datang. Saat tempat tidur lapuknya basah, ia hanya meringkuk di pinggir, menunggu reda.
Umumnya warga Bangun Rejo, Sinar Seputih, Lampung Tengah mengenalnya dengan nama Bejo. Mereka cuma bisa kasihan saja. Banyak dari mereka membantu makanan atau memberinya upah sebagai balas jasa memijat.
Maliki, kepala Kampung Sinar Seputih, mengatakan rumah Bejo lebih parah pada Tahun 2007. Sekali dorong, dindingnya rubuh. Mereka pernah merehabnya, tetapi kini hancur lagi.
Menurut Maliki, ada sekitar 20 rumah yang tidak layak huni di kampung itu. Mereka pernah merehab beberapa, tetapi anggaran desa tidak mungkin hanya untuk itu.
Ia mengharapkan Bupati, Gubernur, atau Presiden ikut memperhatikan. Kampung sudah berulang kali membuat proposal ke Pemerintah Kabupaten dan Pemerintah Provinsi, tetapi sampai sekarang tidak ada jawaban.
“Lebih bagus kalau yang membantu itu warga yang berlebih. Menolong orang-orang seperti Bejo pahalanya luar biasa,” katanya.
SIGIT S
0 comments:
Posting Komentar