Saya sebenarnya ada liputan, tetapi ini menyangkut paman, keluargaku sedunia bisa mencapku sombong kalau tidak meladeninya. Dan dia benar-benar datang. “Ayo,” katanya, gak pake acara masuk ke dalam rumah.
“Kita ke tempat Tukiran, petani cabai di Tejosari,” katanya, begitu saya naik ke atas kijang buruknya. Duh, masih soal Semangat 45 pensiunan dini, rupanya. “Harga cabai lagi naik, kata budemu, cabai merah sudah Rp40 ribu perkilo di Pasir Gintung. Dalam waktu sekejab naik lima ribu...”
Makin banyak pengetahuan pamanku soal harga. Baru mau bicara bawang, kami sudah sampai di tempat Tukiran, seorang petani, yang memiliki lahan cabai satu hektare di Tejosari, Metro Timur.
Saya sudah tidak diperlukan lagi sampai di sana. Dia rupanya membawa tahu Sumedang agar bisa mengajak ngobrol Tukiran agak lama. Saya sempatkan ambil video di sana-sini.
Baru saja berkeliling ambil gambar, si paman sudah teriak, “Kita Pulang,” katanya. “Tunggu dulu pakde, saya mau wawancara,” kataku, “Ya sudah, saya tunggu di mobil,” ujarnya.
Saya tidak berani bertanya kepada Tukiran kenapa pamanku sewot. Namun, dari hasil ngobrol dengan petani cabai itu, saya baru mengerti. Menjadi petani tak seindah impian para pegawai pensiun dini.
Yang pertama-tama lahan. Di Tejosari, satu hektare sudah miliaran saat ini. Yang kedua bibit, perlu 20 ribuan. Lalu pupuk, bisa menghabiskan 5 kuintal sampai panen. Belum lagi obat-obatan, minimal 2 kaleng. Singkatnya perlu duit minimal Rp100 juta.
Teorinya, satu pohon cabai menghasilkan 1 kg cabai. 20 ribu batang berarti 20 ton. Prakteknya, 10 ton sudah bagus, karena banyak yang keriting. Kalau harga jual ke pengumpul hanya Rp8000 per kg, rugi.
Kenapa tidak dijual ke pasar? “Lha, yang miara cabe siapa? Ngupahin orang takut gak kebayar,” kata Tukiran.
Rupanya jawaban inilah yang membuat pamanku langsung ngajak pulang. Padahal rencana dia mau rekrut tenaga dua sampai lima orang. Untuk mengurangi pengangguran, katanya.
BIMA DWI INDARTO
0 comments:
Posting Komentar