Nasib Taman di RSUD Pringsewu

PRINGSEWU (2/12/2017) – Salah satu nasehat Bapak kepada kami waktu masih kecil: Jangan sampai dirawat di rumah sakit. Saya masih ingat itu sampai sekarang. Kalaupun masuk ke rumah sakit, karena tugas jurnalistik ke bagian emergency, atau sesekali meliput warga terkena penyakit aneh.

Namun, jantung mertua kumat lagi. Bisa perang dunia ketiga kalau tidak menawarkan diri menjadi penjaga di malam pertama. Ipar memilih RSUD Pringsewu pula. Ia yakin rumah sakit itu sudah sangat modern. “Menurut RUP, delapan belas miliaran APBD yang mengucur pada Tahun 2017 ke sana. Tahun sebelumnya malah 48 miliaran,” katanya.

Syukurlah adik ipar paling bungsu ikut jaga.  Saya tidak jadi tukang pijat. Malah tertidur lelap sampai subuh. Shalat. Tidur lagi. Saya baru sadar karena dibangunkan wanita. Tapi suaranya lebih halus. Suster rupanya. “Mertuanya manggil ,” katanya. “Minta beliin selang.”

Duh, Adik iparku pulang gak membangunkanku.  Tapi selang? Kalau lagi sakit, permintaan mertuaku sering aneh. Jangan-jangan dia mau merokok, terus pake selang keluar.

“Ngorok terus kamu ya.” Dia langsung main semprot begitu melihat mukaku. “Saya beli sebentar bah. Ntar kita bukain jendelanya. Pagi-pagi gak apa-apa,” kataku.

“Ngggak boleh merokok di sini. Lihat tulisannya.” Suara mertua makin keras. Wah! Saya salah terka. Meskipun aku tahu, kalau pagi sarapannya kopi segelas, pisang goreng, dan sebatang kretek. “Selangnya yang berapa inchi, bah?”

“Gak usah beli.” Dia tambah sewot. “Tuh sana tuh, ada yang nganggur,” katanya menunjuk ke luar jendela.  Saya jadi tambah bingung. Tapi berangkat juga.

“Eh, kamu ngerti gak maksudnya?” Dia manggil lagi. “Lihat tuh.  Kasihan taman. Kering, Gak pernah disiram. Ada selang tuh. Semprot. Olahraga kamu. Atau kamu yang sakit. Abah yang nyiram,”  katanya.

Saya baru ngeh. Mertuaku, memang, paling doyan menyiram bunga. Apalagi kalau janda sebelah rumahnya sedang menyapu di luar.

Tapi menyiram taman rumah sakit? Saya bisa dimarahi sekuriti.  Namun, saya tetap pergi. Syukurlah di tikungan gang, ketemu isteriku. “Papah pulang. Pak erte nungguin,” katanya. “Tapi lagi disuruh abah nih,” kataku. “Beli rokok ya”” istriku langsung sewot. Dia menarik saya ke pintu ruangan tempat mertua dirawat. “Pah, Pak Erte ngajakin ke rumah Pak Kiai. Ngambil air buat Papah.”

Mertuaku mengangguk saja. Tapi seliwat aku lihat dia menyumpahi aku dengan nama kebesaran yang diberikannya:  Pekok.

Sambil pulang, aku mengitari rumah sakit. Tamannya memang nyaris tidak ada yang beres. Kalau bukan kering, rumputnya sudah hilang. Pot-pot  pecah. Banyak bunga yang tumbuh seperti tanaman liar. 

“Padahal baru ditanam tahun ini lho pak,” kata Wage, kenalan baru, yang rupanya memperhatikanku mengitari taman.

AMIR HAMZAH DAN EPRIZAL

0 comments:

Posting Komentar