pTzHC95kDouQYrsREyhoYFkgZJIas4EQAFJtLwOS
Bookmark

Kisah Warga Negara Batin Amuk Polsek dan PT Austasia (3)

JABUNG (25/3/2018) – Warga Negara Batin, Jabung,  Lampung Timur, mengamuk, membakar sejumlah properti PT Austasia Stockfeed dan mendatangi Kantor Polsek Jabung pada Malam Minggu, 17 Maret 2018 yang lalu, karena mendengar kepala desanya ditahan.

Kenapa warga mengamuk? Bagaimana bisa dalam waktu sejam ribuan orang bisa berkumpul membela kepala desanya? Betulkah Kepala Desa hendak ditahan? Berikut wawancara dengan Raden Sampurna Jaya M. Nur, penyimbang Negara Batin, Ibrahim Efendi dan Iskandar, warga Negara Batin.

Raden Sampurna Jaya sudah sepuh. Tetapi ia bersyukur masih hidup ketika lahan Negara Batin dikutak-katik PT Austasia Stockfeed. “Kami sebenarnya tidak mengenal perusahaan ini. Yang kami kenal adalah Bakrie Conversation atau PT Tipindo…kapan dijual ke PT Austasia kami tidak mengetahuinya dan tidak pernah dilaporkan ke Desa,” katanya.

Pada Tahun 1992, demikian Sampurna Jaya, luas lahan yang mereka jual 300 hektare. Namun, saat itu, hasil pengukuran BPN 237,18 hektare. “Lalu menggelembung menjadi 426 hektare. Kami mempertanyakan hal ini pada Tahun 1993 kepada BPN,” katanya.

Sejak Tahun 1993, Sampurna Jaya menganggap 188 hektare dari 426 hektare yang dimiliki Bakrie fiktif. “Hingga saat ini kami menyatakan hanya menjual 237,18 hektare, di luar itu kami tidak pernah menjual,” katanya.

Menurut penyimbang Negara Batin itu, salah jika Pemerintah menyalahkan Kepala Desa mereka. Kalau berniat baik, pihak terkait mencari tahu siapa penjual 188 hektare.

Dia juga mempertanyakan BPN yang menyebutkan lahan tersebut saat ini milik PT Austasia. Padahal saat dengan Bakrie merupakan HGU. “Lahan yang seharusnya hanya dimiliki dalam jangka waktu dua puluhan tahun kok jadi hak milik,” katanya.

Iskandar, salah seorang pemilik lahan di Negara Batin, mengatakan, awalnya mereka menaruh harapan kepada Kapolres Lampung Timur, yang berjanji mencari penjual 188 hektare. “Saat mediasi terakhir, BPN mengatakan lahan itu sah hak perusahaan,” katanya.

Sejak saat itu, demikian Iskandar, warga menjadi shock. Warga mulai dipanggil. Arah selanjutnya kepala desa, karena menerbitkan SKT. “Masyarakat mulai dituding sebagai penyerobot lahan,” katanya.

Kalau disebut penyerobot lahan, kata Iskandar, dasarnya tidak jelas. “Kakek saya meninggal Tahun 1983, saat itu perusahaan belum ada. Ahli waris kemudian ibu dan saya. Kalau itu sudah dijual, berarti antara mak dan saya, dan kami tidak pernah melakukannya,” katanya.

Iskandar, yang sesekali ditimpali Ibrahim Efendi, mengatakan panggilan terakhir mereka berasal dari Polda Lampung pada Januari 2018. “Ada secercah harapan, masalah ini akan terang-benderang. Namun, setelah sampai di sana, penyidiknya masih orang Polres,” katanya.

Menurut Ibrahim sasaran pemanggilan terakhir saat itu adalah kepala desa. “Kalau kepala desa bersalah, otomatis kami juga bersalah. Seolah-olah kepala desa membuat SKT di atas HGU…hingga akhirnya ditetapkan jadi tersangka,” ujarnya.


0

Posting Komentar

-->