Saat Kapolsek Menangis, Bertemu Paman di Pulau Sekopong

LABUHAN MARINGGAI (8/3/2018) – Namanya Pulau Sekopong.  Jangan diartikan seperti dalam Kamus Bahasa, yang berarti jantung hitam.  Maknanya lebih cenderung ke bahasa Bugis: luasnya sesekop. Lahan di sana memang paling 1 hektare. Setiap tiga bulan menyusut menjadi sesekop dan hilang, tapi timbul lagi beberapa bulan kemudian.

Terletak sekitar 76 kilo dari Kuala Penet, Lampung Timur, Pulau Sekopong sering disebut-sebut pada Tahun 2015 dan 2026. Pasir, tempat mereka tinggal, hendak ditambang PT Sejati 555 Nusantara Sejahtera.

Bisa tinggal di Pulau Sekopong juga karena terusir dari lahan Way Kambas. Pemerintah tidak memberi alternatif bagi mereka untuk tetap menjadi nelayan. Warga yang umumnya berasal dari Kuala Penet itu menemukan ide tinggal di pulau-pulau pasir di Laut Jawa itu. Meskipun pindah beberapa kali dalam setahun, mereka tetap menjadi nelayan.

Kamis, 8 Maret 2018, tempat itu dikunjungi rombongan Kapolres Lampung Timur AKBP Yudy Chandra, Penghubung Kodim 0411 Lamteng Mayor Joko Subroto, dan rombongan. Perlu tiga jam mencapai tempat itu dari Kuala Penet, Labuhan Maringgai, Lampung Timur.

AKBP Yudy Chandra banyak tidak percaya atas kehidupan sekitar 40 KK nelayan di sana. Hidup berpindah-pindah. Jika ombak besar datang, naik ke atas perahu, menjaring ikan di laut yang menjadi jalur kapal Jakarta- Bangka itu.

Yang membuat Kapolres kaget saat melihat Kapolsek Labuhan Maringgai Kompol Efendi Koto, samblil menyeka air mata,  memperkenalkan pamannya. Saat ngobrol-ngobrol dengan seorang nelayan tergolong paling tua di sana, ternyata berasal dari Talangpadang, Tanggamus. 

“Sudah puluhan tidak ketemu,” kata Kapolsek Labuhan Maringgai kepada Kapolres.

BERIYAN HERMAWAN

0 comments:

Posting Komentar