Lamiran, warga Desa Braja Sakti, Way Jepara, Lampung Timur, masih menempel merk “Penjahit dan Vermak Levis” di depan rumahnya. Sejak dulu profesi yang diketahuinya hanya itu. Ia bahkan rela berbagi hasil dengan keluarga yang meminjamkan mesin jahit, karena peralatannya sudah lama rusak.
Rumah Lamiran sangat rapuh. Umumnya masih terbuat dari geribik, berlantai tanah, tak ada kamar khusus, dapur menyatu dengan ruang tamu, dan tak memiliki kamar mandi. “Kalau mau mandi atau menyuci, menumpang di tetangga,” katanya.
Pria berusia 62 tahun itu merasa bersyukur masih bisa makan. Isterinya, Suprihatin, yang kini berusia 57 tahun, juga menerima hidup apa adanya. Tetapi, dua anak mereka tidak bersekolah, sebagaimana lazimnya anak-anak Indonesia.
Yang paling tua seharusnya kelas 8 saat ini. Anak itu hanya ikut PKBM alias belajar di pesantren tanpa ijazah. Saat ini malah ingin berhenti untuk membantu orang tua. Yang satu lagi masih berusia 7 tahun, juga belum jelas akan sekolah ke mana.
Tidak dapat Kartu KIP? “Kartunya dapat, tetapi dananya tidak pernah ada,” kata Lamiran.
Yang paling tua seharusnya kelas 8 saat ini. Anak itu hanya ikut PKBM alias belajar di pesantren tanpa ijazah. Saat ini malah ingin berhenti untuk membantu orang tua. Yang satu lagi masih berusia 7 tahun, juga belum jelas akan sekolah ke mana.
Tidak dapat Kartu KIP? “Kartunya dapat, tetapi dananya tidak pernah ada,” kata Lamiran.
Dapat kartu KIS dan fasilitas keluarga miskin dari Pemerintah? “Kartunya ada, Kami digolongkan keluarga sejahtera, tetapi beras rastranya kadang-kadang dapat, kadang-kadang tidak,” katanya.
Ia berharap memperoleh bantuan Pemerintah, yang sekarang ini banyak dipromosikan Presiden dan para Menteri. Namun ia tidak mau ribut. “Sesungguhnya malu minta-minta. Tetapi kalau orang dhuafa, seperti kami, memperoleh hak, baik untuk sekolah anak, bansos, apalagi bedah rumah, kami akan sangat berterimakasih,” katanya.
BERIYAN HERMAWAN
0 comments:
Posting Komentar