Meskipun memiliki pekerjaan menjadi buruh genteng, penghasilan Suharjo maksimal hanya Rp500 ribu sebulan. Cukup untuk makan, tetapi tidak bisa dibagi untuk lain. Listrik saja ia tidak berlangganan ke PLN. Anaknya yang tertua baru saja lulus SMK, tetapi karena belum melunasi uang sekolah, ijazahnya ditahan SMK Muhammadiyah.
Dengan hidup prihatin seperti itu, Suharjo tidak digolongkan sebagai orang miskin di Margasari, Labuhan Maringgai, Lampung Timur. Ia tidak mendapat KIS, PKH, atau rastra. “Dulu pernah dapat raskin, tetapi sudah berapa tahun yang lalu,” katanya saat ditemui di geribiknya pada Senin, 4 Mei 2018.
Suharjo sudah puluhan tahun tinggal di Margasari. Ia memiliki Kartu Keluarga Sejahtera (KKS), anaknya juga dapat KIP. Namun, dua-duanya tidak pernah menghasilkan bantuan apa pun dari Pemerintah.
Ketua RT 1 Dusun 1 mengatakan setiap tahun mereka menyetorkan data ke “atasannya”. Nama Suharjo selalu masuk, tetapi realisasinya tidak pernah ada.
Aris, kepala dusun, mengatakan, yang mengatur soal siapa yang dapat raskin, PKH, atau bantuan sosial di tempatnya adalah pendamping. Jika di daerah lain, pemegang PKH berarti memperoleh beras rastra, di daerah itu belum tentu.
Suharjo sebenarnya tidak ingin ribut. Meskipun selalu kurang, mereka terus berusaha hidup dari tani dan buruh genteng. Hanya saja ia merasa Pemerintah “tebang pilih”. “Orang yang rumahnya jauh lebih bagus dapat PKH dan rastra, kenapa kami tidak. Anak orang lain bisa sekolah gratis, tetapi kami tidak,” katanya.
BENI ALIF SYUHADA
0 comments:
Posting Komentar