KH Ahmad Shodiq Way Jepara Lampung Timur Dimakamkan

WAY JEPARA  (13/7/2018) – Tak sampai sepekan lagi, 18 Juli 2018, Kiai sepuh itu berusia 91 tahun. Namun, Allah memulangkan KH Ahmad Shodiq ke haribaan-Nya pada pukul 15.00 Jumat Sore, 13 Juli 2018, di RS Urip Sumoharjo, Bandarlampung.

Suasana berduka sangat terasa di Pesantren Darussalamah,  Desa Brajadewa, Way Jepara, Lampung Timur, selesai ashar. Jenazah Mustasyar Nahdlatul Ulama itu tiba setelah magrib, disambut ribuan santri, ulama, dan warga.

Sesuai kesepakatan keluarga dan para kiai, Mursyid Thariqah al-Qadiriyyah wa al-Naqsabandiyyah itu segera dimakamkam pada pukul 21.30, Jumat malam, 13 Juli 2018 di komplek masjid dan pesantren, yang almarhum dirikan dari Tahun 1964.

Dalam laman paratokohlampung.blogspot.com, KH. Ahmad Shodiq lahir di Kampung Jatisari, Kecamatan Kepung, Kawedanan Pare, Kabupaten Kediri, Jawa Timur, 18 Juli 1927.  Ayahnya bernama Tarmuji, sedangkan ibunya Situn. Mereka enam orang bersaudara.

Setelah Sekolah Rakyat hingga kelas 3,  Kiai Sepuh itu menempuh pendidikan di tiga madrasah, Ibtidaiah Salafiyah, Tsanawiah Salafiyah, dan Aliah Salafiyah. Pada saat berusia 18 tahun, pernah tertarik menjadi tentara, namun ibunya tidak menyetujui.

KH Ahmad Shodiq akhirnya belajar ke Pondok Pesantren Darussalam Kencong, asuhan KH Imam Faqih, yang berjarak 3 km dari rumahnya. Ia jadi santri sambil berjualan nangka. 

Sembilan tahun di sana, KH Ahmad Shodiq pindah ke Pondok Pesantren Pedes di Jombang, yang berjarak 34 km, dan ditempuh dengan berjalan kaki setiap hari. Untuk memperdalam Quran dan tarekat, dia juga berguru kepada K.H. Adlan Ali, pengasuh Ponpes Cukir, Jombang.

Pada Tahun 1963, adiknya, Suroso, menjadi transmigran ke Brajadewa, Way Jepara, Lampung Timur. Bersama keponakan Bisri Mustofa, mereka meminta KH Ahmad Shodiq ke Lampung, membantu ulama yang sudah ada, KH Ismail.

Tiba di Brajadewa, Kepala Kampung Goden menyuruh sang kiai menjadi hansip. Namum pada malam hari ditugaskan mengajar agama di mushala atau dari rumah ke rumah. Karena semua tugas berjalan dengan baik, setahun kemudian, KH Ahmad Shodiq memperoleh tanah wakaf setengah hektare. Dari sanalah Kiai Sepuh itu mendirikan pesantren, dengan murid pertama tujuh orang.

Hingga akhir hayatnya, mursyid tarekat Qadiriyah wa al-Naqshabandiyah Lampung itu memiliki santri puluhan ribu. Sejumlah alumni, bahkan sudah mendirikan pesantren, seperti  KH Khusnan Mustofa Ghufron (Darul A'mal Metro), KH  Muchsin Abdillah (Darus Sa'adah Mojoagung, Gunungsugih, , KH Nurcholis (Bandaragung, Terusannunyai), KH Nur Daim (Darus Salamah, Bandaragung), KH Sahlan (Darun Najah, Sekampung), KH Nasikhin (Darun Najah Brajaselebah) , KH Wahib dan Muhid (Sumbersari, Way Jepara).

KH Ahmad Shodiq juga pernah menjadi pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama Lampung dan PBNU. Dipercaya Almarhum K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menyelesaikan berbagai persoalan umat, khususnya di lingkungan NU.

Meskipun pondok pesantrennya berkembang, anak-anaknya, yang berjumlah enam, sudah sarjana, KH Ahmad Shodiq tetap teguh dalam sistem salaf. Ia tetap ke ladang bercocok tanam untuk menafkahi diri, isteri, dan keluarganya. 

BENI ALIF SYUHADA

1 comments: