Pikiran wanita berusia 50-an itu tertuju kepada puterinya, Selvia Rumi, yang dalam dua hari terakhir, mengeluhkan sakit di perutnya, karena saatnya melahirkan.
Namun Maria bersyukur. Letupan Gunung Anak Krakatau mengingatkan mereka segera mengungsi. Meski dengan berjalan pelan-pelan, sepanjang 2 km, ia menatih puterinya yang berusia 20 tahun naik ke gunung. Terhindar dari amukan tsunami, yang tiba sejam kemudian, sekitar pukul 21.30 dan pukul 22.30.
Belum ada kabar satu pun dari 3.000-an warga Pulau Sebesi yang meninggal karena tsunami. Namun bagi Maria, bencana itu membuat rumah dan warungnya rusak. Saat turun pagi harinya, umumnya dagangannya hilang dicuri.
Pagi, Minggu, 23 Desember 2018, demikian Maria, rumah sepanjang pantai hilang atau rusak. Mereka berusaha mengais-kais sisa beras dan makanan untuk dibawa ke gunung. Pikirannya terus ke anaknya, yang akan melahirkan, berada di satu tenda yang bocor, dan hanya bisa duduk karena padatnya warga.
Senin, 24 Desember 2018 bantuan mulai tiba. “Kami mulai kebagian 5 bungkus mi instan. Enam tenda dirikan. Warga dipecah,” ujarnya.
Saat Petugas Gabungan menawarkan evakuasi, Maria paling cepat mengusulkan diri. Meskipun hanya dengan kapal tradisional, mereka berangkat pagi dari Pulau Sebesi, tiba di sekitar Pelabuhan Canti pukul 09.30, Selasa, 25 Desember 2018.
Puterinya, Selvia, menjadi pengungsi tsunami yang diprioritaskan. Mereka dibawa ke RSUD Bob Bazar. “Alhamdulillah Pak, anak saya melahirkan anak perempuan dengan selamat,” katanya.
Terlalu runsing bagi Maria untuk sekaligus memikirkan hidup besok hari. “Yang jelas rumah dan warung hancur. Isinya dibawa ombak atau hilang dicuri. Hidup harus kami mulai lagi,” ujarnya.
DEDI KAPRIYANTO
0 comments:
Posting Komentar