Jeritan Nelayan Gudang Lelang Bandarlampung

BANDARLAMPUNG (16/1/2018) – Dia sudah puluhan tahun menjadi nelayan di Gudang Lelang, Bandarlampung. Dalam usianya yang menginjak 60-an, pria itu kini lebih senang menjaga lapak. Namun, keluarganya tetap pencari ikan.

Mashuri, pria itu, tak mudah diajak bicara. Seperti sudah jenuh mengungkapkan sesuatu. Meski setelah ditunggu, ia akhirnya meledak juga. “Sekarang ini semua dipersulit. Dulu beli solar mudah. Sekarang dipersulit,” katanya.

Solar material utama nelayan kapal motor, selain es, jarring, dan kesehatan mesin. Lima tahun lalu, mereka cukup bekal 5 sampai 10 liter, tetapi sekarang bisa tiga  atau enam kali lipat. Cari ikan makin jauh. Limbah semakin menggila. Ikan-ikan menjauh.

Yang membuat jengkel Mashuri, sekarang ini membeli solar harus memakai surat-surat seperti SITU dan SIUP. Mengurusnya ke Pemerintah Kota susah dan lama.  “Orang lain bisa dua jam. Kita berbulan-bulan belum tentu dapat,” katanya.

Tanpa SITU dan SIUP, demikian Mashuri, nelayan dianggap maling. “Padahal kemampuan kita membeli paling untuk sekali berlayar,” ujarnya
.
Mashuri mengharapkan Pemerintah jangan hanya mendekati nelayan di zaman politik, apalagi hanya sekedar lipstik dan pencitraan. “Yang kita butuhkan bisa cepat urus surat. Kalau membeli solar mudah lagi seperti dulu,” katanya.

Tak hanya Mashuri  nelayan Gudang Lelang yang menjerit. Agus, yang sudah diajari orang tuanya melaut sejak usia 5 tahun melihat unjuk rasa nelayan saja tidak lagi cukup untuk mengeluhkan sulitnya solar dan izin. “Bulan lalu (Desember 2017) nelayan demo,” katanya.

Dalam usianya menginjak 40-an, Agus juga bingung soal sulitnya menjadi nelayan saat ini. Dulu serba mudah, tak dibelit birokrasi dan berbagai kepentingan. “Pernah, ingin istirahat aja di Pulau Condong dilarang. Jadi kita sejak berlayar harus terus di tengah laut.” ujarnya.

Agus sudah beberapa kali berusaha ganti profesi. “Tetapi tetap kembali jadi nelayan lagi,” katanya.

MUSTOPA DAN DANDI HASIBUAN

0 comments:

Posting Komentar