Sejak pesisir pantai Bandarlampung ramai dengan pelabuhan khusus, seperti pelabuhan batubara milik Ayin di Jalan Yos Sudarso, nelayan merasa tersingkir. “Pernah laut menjadi cokelat. Katanya karena plankton. Ya udah. Dibantah juga gak ada gunanya. Mereka ahlinya,” ujar Yudi, seperti pesimistis.
Selain limbah, sampah juga menjadi pemandangan sehari-hari di sebagian pesisir Bandarlampung, mulai dari Gudang Lelang hingga Sukaraja. Setiap air pasang, sampah menumpuk. Tiap hari dibersihkan, datang lagi. “Dinas terkait tak mau tahu. Pernah datang sekali waktu tsunami. Itu aja,” kata Yudi.
Saat air surut sejenak pada Sabtu malam tsunami 22 Desember 2018, dasar laut penuh sampah. Jupri, nelayan Sukaraja, menyaksikan hal itu, karena ingin mengambil perahunya yang tertinggal beberapa ratus meter di tengah laut.
Yudi dan Jupri mengakui mereka masih memperoleh ikan. Tetapi sejak banyak pelabuhan di Teluk Lampung, banyak keanehan lingkungan tejadi. Mereka lebih banyak mendiamkannya. “Mengadu ke mana pun, tidak akan dipedulikan,” kata Yudi.
DEDI KAPRIYANTO DAN DANDI HASIBUAN
0 comments:
Posting Komentar