Jufri, seorang nelayan di Sukaraja, Bandarlampung, mengatakan ia tidak mendengar pemberitahuan sama sekali dari Pemerintah. “Kalau mau mati, malam itu, habis wilayah pesisir pantai ini,” katanya, Minggu, 13 Januari 2018.
Senada dengan Jufri, Syaiful, warga Jalan Yos Sudarso, mengatakan ia mengetahui tsunami karena ditelepon keluarga dari Anyer, Banten. Ia malah yakin Pemerintah Kota dan Provinsi tidak mengetahui apa pun, karena besok harinya, masih menyebut peristiwa tersebut akibat gelombang tinggi pada akhir tahun.
Sri Utami, warga Gudang Lelang, juga tidak mendengar pemberitahuan apa pun dari Lurah atau Kecamatan. Yang terjadi warga kocar-kacir. Anak-anak menangis. “Informasi diperoleh dari sesama warga,” katanya.
Iwan, warga Bumi Waras, yang berada di pinggir jalan Malahayati saat tsunami, tidak melihat aparat Pemerintah melakukan peringatan dini. “Warga mengungsi sampai seminggu karena tidak ada kepastian soal tsunami susulan,” ujarnya.
Hampir 200 ribuan orang dari 900 ribuan warga Bandarlampung tinggal di Pesisir Kota Bandarlampung. Saat tsunami 22 Desember 2018, puluhan ribu mengungsi. Meski yang terdata hanya ribuan, karena Pemerintah Kota dan Provinsi hanya menghitung warga yang berlindung di Kantor Pemprov, Masjid Al-Furqon, dan beberapa lokasi lainnya.
MUSTOPA DAN DANDI HASIBUAN
0 comments:
Posting Komentar