Tidak ada sumur. Jika butuh air minum, ia membawa ember ke sungai berwarna pekat di sana, memasaknya langsung agar tidak merusak kesehatan. Tak ada MCK, cukup ke kali yang sama setiap saat. Tanpa listrik. Ia tidak pernah memiliki handphone.
Angin, kemarau panjang, nyamuk, atau binatang terbang lainnya menjadi temannya sehari-hari. Apa saja boleh masuk, keluar, atau melintas di istana masa tua itu siang dan malam. Yang sering ia risaukan hanya hujan. Apa saja menjadi basah. Badannya pun menggigil.
Sejak lahir, Gimo, sang kakek, hanya menjadi petani penggarap. Belakangan ia bermukim di pinggir Sungai Way Pidada, Tiyuh Kibang Trijaya, Lambu Kibang, Tulangbawang barat. Karena sudah tak kuat memacul, ia mencoba beralih profesi menjadi pembuat kandang burung atau ayam dan peternak kambing.
Ia tidur di atas kandang kambing yang terbuat dari papan. Nyaris tak ada persediaan beras di sana. Sehari-hari ia mengkonsumsi singkong rebus, yang sekaligus penganan binatang piaraannya. Tak memiliki harta apa pun: baju saja cuma dua buah.
Edi Setiawan, warga Tiyuh Kibang Trijaya, mengatakan Gimo sudah lama tidak beristeri. Ia memiliki anak, tetapi bermukim di Kotabumi, Lampung Utara. Karena tidak ingin menyusahkan mereka, ia memilih berjuang menjalani hidup sendiri.
Slamet, warga lain di tiyuh yang sama, mengatakan Gimo juga tak pernah merepotkan Pemerintah mana pun di negeri gemah ripah loh jiwani ini. Seumur-umur ia hanya dapat zakat fitrah. Itu pun jika Lebaran tiba.
ADI SUSANTO
0 comments:
Posting Komentar