Hendrik Sujatmiko, warga Pekon Pujodadi, itu sudah 20 tahun lebih menekuni usaha ini. Karena banyaknya permintaan dari pasar, terutama Lampung, Jakarta, dan Bali, ia mencari material dari seluruh Indonesia, mulai dari Aceh, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Lampung, Nusa Tenggara Timur, dan Papua.
Karena keterbatasan modal, ia menjalani usaha pengolahan kemiri secara tradisional sejak puluhan tahun yang lalu. Begitu material datang, ia merendamnya selama tiga hari. Para pekerja, kemudian, memasukkannya lagi ke dalam karung, membagi-baginya ke setidaknya 50 warga, untuk memisahkan cangkang atau tempurung dengan isinya.
Juga dengan cara tradisonal, kemiri yang sudah terpisah dari cangkangnya, kemudian dioven. Minimal perlu waktu 5 hari untuk mengolahnya.
Warga Pekon Pujodadi itu membeli kemiri mentah sekitar 8.500 rupiah perkilogram pada saat ini. Jika sudah dioven, harga per kilogram bisa mencapai 35 ribu rupiah perkilogram, belum termasuk nilai cangkang, yang masih bisa dijual dengan 1.500 rupiah perkilogram.
Karena kemiri umumnya ada di daerah lain dan cara pengolahannya tradisional, Hendri Sujatmiko harus bermodal besar untuk membeli material, mengupah puluhan warga, belum termasuk biaya angkutan dan para pekerja.
Puluhan tahun menjadi penegolah kemiri, ia masih menjadi pengusaha biasa-biasa saja di Pekon Pujodadi, Pringsewu.
Meskipun demikian, Hendri Sujatmiko bangga bisa mengenal petani, pengumpul, dan penjual kemiri di seluruh Indonesia. Materialnya minim di Lampung, tetapi orang luar menilainya sebagai produksi provinsi paling di ujung di Pulau Sumatera itu.
PIYAN AGUNG
0 comments:
Posting Komentar